Jurnal Review: Posisi Bahasa dalam Diskursus Sains dan Agama
Majelis Bentala Syuhada #57 (7/11) membedah artikel Ali Hossein Khani, Islam and Science: the Philosophical Grounds for a Genuine Debate, yang terbit di jurnal Zygon pada Desember 2020 lalu. Pembedahnya, Yongki Sutoyo, adalah Magister Aqidah dan Filsafat UNIDA Gontor yang menjadi mentor Program Kaderisasi Ulama di sana.
Penelitian Khani berangkat dari sikap saling curiga antara saintis dan agamawan tentang tema mereka masing-masing, maupun perbincangan keduanya yang saling mengafirmasi namun tidak progresif. Khani membagi perbincangan itu dalam 3 kategori: trivial (biasa), genuine (dalam), superficial (dangkal). Menurutnya, perbincangan sains dan agama cenderung jatuh pada perbincangan dangkal (superficial), karena bahasa yang digunakan tidak memadai.
Dalam penelitiannya, Khani berfokus pada bahasa di ranah ontologi (realitas) dan semantik (makna yang dirujuk bahasa). Bagi dia, perbincangan yang dangkal justru akan menimbulkan relativisme: tidak paham term yang dipakai, tidak paham makna asali term dan relasi semantiknya, seolah membincangkan suatu hal yang beda dan tidak bisa menghasilkan titik temu.
Supaya perbincangan menjadi genuine diperlukan kesepahaman bahasa dari ontologi dan semantik-nya, yakni dengan cara: (1) mendefinisikan dan memahami istilah teoritis dengan jelas dan (2) menghindari ambiguitas makna dan istilah yang dipakai.
Hal ini karena setiap istilah memiliki medan semantiknya sendiri dan relasinya dengan istilah lain, yang mana, yang berbeda di tiap-tiap disiplin ilmu. Agar seseorang memahami apa yang dimaksud lawan bicaranya, dia setidaknya harus mengenali terlebih dahulu hal-hal yang digunakan lawan bicaranya itu untuk mengucapkan kata-katanya. Dengan kesepahaman itu diharapkan dapat tercapai kesepakatan atau penolakan.
Sebagaimana dikatakan David Lewis, sebelum mencapai kesepakatan tentang arti istilah teoritis dan teknis tertentu, kita tidak dapat memutuskan apakah kita setuju satu sama lain dalam suatu klaim.
Di dalam kesepakatan itu pun kerap muncul satu problem dalam sains modern, yaitu relativisme ontologis. Bagi pandangan ini, realitas pada dasarnya beragam/plural; oleh karena ada banyak jenis konsepsi tentang dunia, konsepsi itu bisa saling menegasikan satu sama lain.
Jika gagal berbagi skema konseptual yang sama atau pandangan dunia kita berbeda secara radikal, kita tidak akan dapat saling memahami. Sebagai akibatnya, dialog sains-agama (kemungkinan) gagal.
Menyikapi asumsi ini, Khani memberi solusi sesuai tesis awalnya: untuk sampai pada perbincangan yang mendalam dan asli tentang suatu subjek, kita perlu bekerja dari dalam teori, ontologi, atau bahasa yang sama. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Donald Davidson.
Selain itu, Khani juga mengurai tentang argumen ketakbolehtentuan (underdetermination) yang tak sejalan dengan naturalisme. Hal ini untuk menjelaskan bahwa sains hanya salah satu ‘jalan’ atau ‘cara’ dalam menjelaskan fakta, sehingga agama seharusnya juga punya jalan dalam menjelaskan fakta.
Untuk mencapainya, kita harus melampaui naturalisme. Hal ini dimungkinkan jika semakin banyak falsifikasi dan inkoherensi antar teori sains.
Seseorang yang menekuni dan bekerja di dalam sains akan menemukan poin ini, bukan semakin menjauh. Akan semakin banyak pula komunitas yang bergabung, sehingga semakin banyak orang yang sadar bahwa ternyata framework kita sudah semakin krisis. Pada titik ini, kita mampu untuk menawarkan cara pandang Islam.
Dalam pembahasannya, Yongki menuliskan beberapa catatan pada pembahasan Khani. (1) Model ontologi macam apa yang memungkinkan adanya genuine debate dalam wacana Islam dan Sains. (2) Struktur teori macam apa yang memungkinkan berkembangnya suatu model sains yang sesuai dengan Islam atau ‘sains Islam’. (3) Khani kurang mengelaborasi ontologi bahasa Islam/Arab. (4) Dia tidak membahas sekularisasi bahasa akibat revolusi saintifik.
Terakhir, Yongki menyimpulkan pembahasannya, bahwa wacana Islam dan sains atau Sains Islam dapat terlibat dalam perdebatan yang orisinal, mandalam dan progresif, tentang bagaimana mendeskripsikan dan menjelaskan dunia.
Hal ini terjadi jika umat Islam mulai bekerja dari dalam sains itu sendiri dan terus melakukannya sampai pada titik di mana ontologi sains gagal menawarkan model atau deskripsi apapun tentang dunia yang pada prinsipnya dapat dikonfirmasi atau dipalsukan oleh siapa pun yang setuju pada semacam “bukti”. Pandangan dunia Islam saat ini dapat muncul sebagai model alternatif yang otentik di antara model-model lain yang bertujuan untuk menawarkan solusi terhadap masalah-masalah yang gagal diatasi oleh ontologi sains dan teori yang didukungnya.
Penulis: Isna Nur Fajria / Editor: Ismail Al-‘Alam