Bedah Artikel: Decolonising the Terrorism Industry
Majelis Bentala Syuhada #58 (14/11/2021) membedah artikel Mohammed Ilyas, Decolonising the Terrorism Industry: Indonesia, yang terbit di jurnal Social Sciences Februari 2021. Pembedahnya, Isna Nur Fajria, adalah alumnus program sarjana Departemen Politik & Pemerintahan Fisipol UGM dan staf Media Yayasan Bentala.
Penelitian ini berangkat dari kegelisahan Ilyas karena belum dilakukannya dekolonisasi dalam isu terorisme, sehingga mendorongnya melakukan penelitian dengan studi kasus di Indonesia. Konsep yang digunakannya, “industri terorisme”, diambil dari studi Herman and O’Sullivan pada tahun 1989. Menurut mereka, ahli terorisme merupakan sebuah “industri” yang didanai dan diorganisasi oleh negara dan kepentingan elit lainnya.
Ilyas juga menggunakan pendekatan konsep dekolonisasi yang dikemukakan Raewyn Connel dan Syed Hussein Alatas, yang menyatakan bahwa terdapat inferioritas negara terjajah dalam hal produksi pengetahuan. Keduanya juga menekankan tentang bagaimana industri terorisme melanggengkan hubungan produksi pengetahuan kolonial di Indonesia melalui pengembangan ketergantungan dan ekspor pengetahuan tentang terorisme dari para sarjana Barat.
Temuan Ilyas tentang para aktor industri terorisme terbagi menjadi dua: Barat dan Indonesia. Aktor Barat terdiri pemerintah anggota Five Eyes (Amerika, Inggris, Kanada, Austalia dan Selandia Baru), anggota intelijen Fourteen Eyes beserta jejaringnya, lembaga think tank, pusat penelitian, universitas, para sarjana, perusahaan militer dan teknologi, LSM, pelobi, dan organisasi media. Di Indonesia, mereka adalah pemerintah dan jaringannya, Densus 88, BNPT, TNI, BIN, LSM (IPAC, PAKAR, YPP, C-Save, PSPR, AIDA, Wahid Foundation, AMAN), Habibie Centre, Universitas (UI, Univ Pertahanan).
Ilyas menunjukkan adanya hubungan antara lembaga donor Barat dengan peneliti dan LSM yang cenderung eksploitatif dan timpang, karena (1) lembaga donor tidak ikut serta dalam pengambilan data, (2) peneliti harus siaga 24 jam karena harus bisa dihubungi kapan pun jika dimintai keterangan oleh lembaga donor, (3) peneliti dan LSM tidak diberi kesempatan untuk memberikan masukan atau perspektif terkait data penelitian, (4) pemberian dana bersyarat, pengumpulan data harus sesuai tuntunan pendonor baik dari konsep hingga eksekusinya, (5) peneliti yang direkrut karena punya akses ke sumber data; ekstremis/ kelompok ekstremis yang sulit diakses, dan (6) tidak ada transparansi pemanfaatan data penelitian.
Eksploitasi dan ketimpangan ini terjadi karena tidak adanya sumber pendanaan lain, dari pemerintah Indonesia misalnya, sehingga terjadi ketergantungan sumber pendanaan ke lembaga donor.
Masih terkait relasi yang timpang, lembaga donor banyak memberikan konsep yang dinilai oleh para peneliti salah sasaran, di mana program deradikalisasi justru diberikan ke kalangan moderat. Hal ini dikarenakan lembaga donor berasumsi bahwa seluruh muslim memasuki fase pra-radikalisasi. Terlebih, data yang dikumpulkan LSM dianalisis dan diteorisasi oleh para aktor Barat menggunakan perspektif mereka, dengan mengesampingkan perspektif peneliti dan LSM di Indonesia.
Hasil penelitian mereka kemudian dipublikasikan oleh Barat dan dikonsumsi oleh para peneliti dan LSM di Indonesia yang akhirnya menimbulkan –dalam bahasa Alatas dengan- ketergantungan pengetahuan (knowledge dependency).
Ilyas mengemukakan bahwa ketergantungan pengetahuan setidaknya disebabkan dua hal, yaitu ekspor pengetahuan oleh Barat dan pengetahuan tentang terorisme yang berjalan satu arah.
Contoh hal di atas adalah strategi UK PREVENT dan pembentukan Global Counterterrorism Forum (GCTF) yang menjadi ‘pusat’ sekaligus pengekspor pengetahuan terkait penanggulangan terorisme. Bentuk lainnya tampak dari bagaimana terma radikalisasi dipahami. Ada beberapa model yang dikemukakan, yakni model Jihadization (Mitchell D.Silber), model staircase to terrorism (Fathali M.Moghaddam) dan Typical Radicalisation Pattern (Arvin Bhatt dan Thomas Prechet). Inti argumen-argumen ini cenderung sama, yaitu anggapan bahwa Islam adalah sebab orang menjadi radikal yang menjadikannya seorang ekstremis dan teroris.
Penggunaan konsep industri terorisme yang populer seperti ekstremisme, ekstremisme kekerasan, dan terorisme juga mendapat perhatian. LSM dan akademisi menggunakan terma itu secara bergantian untuk menyebut pihak yang terlibat dalam kekerasan dan belum bisa membedakan antara aktor intelektual dan aktor lapangan.
Masifnya kolonialisasi industri terorisme ini mendesak pentingnya produksi pengetahuan lokal terkait konsep terorisme. Langkah-langkah yang ditawarkan Ilyas adalah; (1) mengadopsi border thinking, (2) memutus episteme Barat yang digunakan para sarjana Barat untuk menghasilkan pengetahuan tentang terorisme, dan (3) dekolonisasi.
Hal ini tidak berarti bahwa LSM dan cendekiawan tidak mampu menghasilkan pengetahuan lokal tentang terorisme, atau tidak menyadari hubungan yang tidak setara antara mereka dan pendonor.
Terakhir, Isna menutup pembahasan ini dengan memberikan beberapa catatan dan refleksi terkait penelitian ini, yaitu; (1) belum adanya eksplorasi tentang sebab belum terciptanya ‘indigenous knowledge’ serta langsung mengaitkan dan langsung menghadirkan penyediaan dana pemerintah sebagai solusi, (2) nihilnya eksplorasi terkait perkembangan wacana kritis di Indonesia mengenai terorisme, (3) tidak terdapat ulasan antara dampak knowledge dependency LSM dan akademisi dan kaitannya dengan tatanan masyarakat, pemerintahan, dan akademis.
Penulis: Abdul Rafi’ Damar Negoro / Editor: Ismail Al-‘Alam