| |

Jurnal Review MBS: Dekolonisasi Sebagai Pintu Pertaubatan Eropa

Majelis Bentala Syuhada (MBS), pada sabtu malam (3/12) menyelenggarakan review jurnal berjudul The Decentering Agenda: Europe as a Post-Colonial Power karya Nora Fisher Onar dan Kalypso Nicolaidis yang diterbitkan SAGE publication tahun 2013. Farhan Abdul Madjid yang merupakan mahasiswa langsung Kalypso Nicolaidis di Magister School of Transnational Governance, European University Institute Italia, menjadi pembedah dalam diskusi kali ini.

Perlu diketahui sebelumnya, agenda desentralisasi bukanlah hal yang baru di dunia akademik. Hanya saja Isu ini terus hangat mengingat fakta berakhirnya era kolonial tidak lantas membuat bangsa-bangsa lain memiliki posisi yang setara dan terlepas dari kerangka berpikir terjajah. Eropa masih -dan selalu- dipandang sebagai pusat peradaban yang merasa memiliki tugas mulia mengarahkan bangsa lain baik segi sosial, ekonomi, maupun kebudayaan. Farhan memberikan kontekstualisasi problem ini pada kasus terbaru gelaran Piala Dunia 2022, di mana Timnas Jerman menyuarakan protes atas dilarangnya kampanye LGBTQ+ di negeri Muslim itu. Belum lagi ungkapan Josep Borrel selaku perwakilan luar negeri Uni Eropa (EU) yang menyandingkan kata Garden pada Eropa dan Jungle pada dunia selainnya. Problem inilah yang jauh-jauh hari disadari oleh kedua penulis dengan dikenalkannya tiga tahap agenda desentralisasi, yakni 1) provincializing, 2) engaging, dan 3) reconstruction.

Pada tahap pertama atau provincializing, Eropa harus mulai merefleksikan diri terkait mitos keutamaan peradabannya. Ide besar tentang keunggulan dan pusat peradaban, harus mulai disanksikan di hadapan lahirnya pusat-pusat kuasa baru yang plural. Tahapan ini fundamental, karena kesadaran diri akan mempengaruhi tindakan yang apabila ia terdistorsi, maka akan melahirkan subjek yang kedap terhadap kritik. Di sini penulis membagi tahapannya menjadi dua domain yakni empiris dan normatif. Pada domain empiris, proses provincializing mensyaratkan pengungkapan bukti yang melawan arus konvensional (eurosentrisme) melalui fakta historis maupun politis. Sedangkan di domain normative, provincializing berusaha membongkar kategori saintifik sosial, berikut relasi kuasa, asumsi, dan paradigma yang melahirkan klaim kebenaran universal eurosentris itu. Dalam hal ini, proses provincializing berupaya melahirkan gerakan sosial yang berkomitmen pada pluralitas masyarakat.

Tahap kedua yaitu engaging atau melibatkan diri dan belajar dari yang lain. Masalah Eurosentrisme terlahir tak lepas dari penutupan diri atas pelbagai macam worldview di dunia ini. Dengan begitu, tahapan engaging mampu menyingkap baik secara empiris maupun normatif problem itu. Secara empiris, ia akan menjawab bagaimana perspektif orang lain di mana Eropa terlibat maupun tidak di dalamnya. Sedangkan dari sisi normatif ia akan membantu melibatkan asumsi orang lain dalam hubungan kebersamaan. Proses ini cukup realistis mengingat ada batasan untuk bertanya “apa pendapat mereka tentang kita?”; dibandingkan pertanyaan “apa yang mereka pikirkan”. Pertanyaan pertama mengantarkan pada prasangka, sedangkan pertanyaan kedua memberikan kemungkinan perluasan wawasan worldview orang lain. Dengan begitu, padangan oposisi biner yang merugikan bisa dihindari, sebagaimana lahirnya ide tentang hibriditas.

Tahap terakhir yaitu re-construction, atau bagaimana semestinya kekuatan poskolonial bertindak. Secara singkat, upaya mengatasi eurosentrisme yang melibatkan strategi provincializing dengan kepekaan terhadap worldview lain, bertujuan membentuk  tatanan bersama lebih baik. Oleh karena itu, wawasan rekonstruksi ini bersifat praktis dengan tugas pertama mengidentifikasi pola hubungan eksternal Eropa selama ini, dan kedua untuk ditindaklanjuti merumuskan pelbagai kemungkinan pendekatan hubungan eksternal yang lebih ‘layak’ atas dasar kebersamaan dan pemberdayaan. Hal penting yang menjadi catatan agenda desentralisasi di sini, bukan berarti ia memberikan kesempatan bagi kekuatan lain untuk mendominasi sebagaimana kasus Eropa, tetapi lebih sebagai upaya membangun dunia bersama yang setara dan saling mengisi. Apakah dunia seperti itu bisa dicapai? Tentu semua bisa diandaikan ketika terlebih dahulu Eropa mau rendah hati dan mengakui keangkuhannya selama ini.

Setelah pemaparan materinya berakhir, sesi diskusi tidak kalah menarik dalam mengembangkan pemahaman agenda desentralisasi ini. Salah satu pertanyaan yang paling menohok adalah bagaimana relasi metodologis agenda desentralisasi yang terkesan relativis ini (dikutip juga dalam jurnal bahwa seringkali kajian ini mengarah pada pragmatism tanpa memikirkan hal yang benar untuk dilakukan) dengan nilai-nilai Islam yang kebenarannya berlaku universal. Farhan di sini mencoba mengelaborasikan ranah dialog dekolonial yang hanya mungkin terjadi pada hal-hal yang bisa dikompromikan. Karena dalam setiap worldview, terdapat sebuah straight line yang menjadi batas kekhasan yang tidak boleh dipertanyakan/terberi begitu saja, dalam konteks Islam, tentu saja keimanan beserta konsep yang menyertainya. Dalam hal ini, dialog dekolonisasi adalah media yang strategis untuk mengenalkan pandangan hidup Islam kepada yang lain. Oleh karena itu, seperti halnya penjelasan ‘Alam, sudah sejauh mana kualitas kita menyampaikan ajaran Islam, apakah sebatas ideologis-politis, ataukah disertai argumentasi yang setara untuk didialogkan. Dalam terminologi Gus Fayyad, pembagian negara secara oposisi biner Darul Islam dan Darul Harb kini kurang relevan, karena kondisinya memungkinkan terjadi dialog, sehingga lebih tepat diadakan kategori ketiga yakni Darul Da’wah. Dengan demikian, kajian dekolonisasi ini penting untuk dikembangkan lebih jauh, bukan hanya secara akademis, tetapi juga dalam kesadaran kolektif. 

Similar Posts