| |

MBS #78 Liberalism in Indonesia: Between Authoritarian Statism and Islamism

Majelis Bentala Syuhada (MBS) ke 78 kembali diselenggarakan (Sabtu, 17/12) dengan Edisi Tinjauan Jurnal Kritis berjudul Liberalism in Indonesia: Between Authoritarian Statism and Islamism yang terbit tahun ini dalam Asian Studies Review. Jurnal tersebut ditulis oleh David Bourchier seorang Associate Professor di The University of Western Australia dan Windu Jusuf dari Leiden University Institute for Area Studies. Isna Nur Fajria selaku Staf Media Yayasan Bentala menjadi pembedah pada MBS kali ini.

Diawal Isna memaparkan latar belakang penulisan jurnal yang disebabkan oleh keresahan penulis tentang Reformasi Konstitusi 1998 di Indonesia yang didasarkan pada United Nation Declaration of Human Rights (HAM), hak-hak universal yang sudah disetujui dalam tingkat internasional. Namun kajian yang bergulir di Indonesia tentang pemikiran politik tidak spesifik dan berfokus pada liberalisme, padahal yang menjadi latar belakang dari deklarasi HAM adalah liberalisme. Kajian ideologi yang banyak berkembang justru lebih ke islamisme, komunisme, nasionalisme termasuk populisme. Hal tersebut memantik penulis untuk melihat bagaimana perkembangan corak liberalisme di indonesia secara kronologis sejak sebelum merdeka hingga hari ini.

Jurnal tersebut menggunakan kerangka liberalisme dari Michael Freeden, liberalisme sebagai kumpulan wacana yang mucul dari perdebatan diantara para intelektual, reformis, negarawan dan kelompok penekan. Ia mengidentifikasi cakupan yang masuk kedalam liberalisme menggunakan kerangka atas tujuh konsep yang saling terkait seperti liberty, rationality, individuality, progress, sociability, the general interest, dan limited and accountable power. Liberalisme tidak hanya dilihat dari kerangka pemikiran tokoh tertentu tapi melihatnya dalam konteks tindakan politik di berbagai level untuk mendapatkan kompleksitasnya dan memungkinkan untuk mendapatkan potret liberalisme secara lintas budaya dan wilayah. Selain itu kerangka umum karakteristik liberalisme di Indonesia juga dipakai sebagai acuan.

Akar liberalisme telah tumbuh sejak sebelum merdeka sekitar tahun 1860-1930 melalui tokoh seperti Douwes Dekker, Kartini, organisasi Nasionalis, budayawan Alisjahbana dan Sutan Sjahrir. Kemudian semangat nasionalisme tumbuh dikalangan elit terpelajar tahun 1920-1930 yang dipicu oleh kritik atas kerja wajib mengharuskan Belanda membalas budi ke pribumi dengan kebijakan Politik Etis, namun kebijakan itu hanya dapat dinikmati oleh kalangan elit pribumi saja sedangkan sebagian besar pribumi proletar tidak mendapatkannya.

Masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945 yang mendukung pandangan nativis-konservatif menjadi masa kelam liberalisme. Itu terlihat dalam sidang BPUPKI yang dalam kacamata liberal dianggap sebagai pertarungan wacana antara sosial-demokrat, nasionalis-konservatif dan islamis. Titik tertinggi liberalisme dalam sejarah politik liberalisme di Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Liberal tahun 1949. Hampir semua representasi partai politik menyetujui adanya jaminan hak politik dan HAM, termasuk perlindungan individu dari ketidakadilan dan represi pemerintah otoriter. Namun sayangnya, dalam sejarah nasional ditulis sebagai “masa yang tidak stabil dan Indonesia dianggap tersesat”.

Pada masa Demokrasi Terpimpin tahun 1959, hampir semua nilai liberal dihapus seperti kebebasan berbicara, independensi peradilan, pemilu, parlemen dan batasan kekuasaan negara. Meski begitu liberal mampu berceruk di universitas seperti Fakultas Ekonomi UI dan kesenian dengan tokoh Mochtar Lubis, Goenawan Muhammad dan Wiratmo Soekito serta munculnya Manifesto Kebudayaan. Di tahun 1963-1965 yang pada akhirnya terjadi peristiwa G30S PKI, memunculkan gerakan anti-komunisme sehingga kalangan pelajar dan kelas menengah yang tidak ingin di cap sebagai komunis menggunakan citra liberal dengan kebebasan berbicara dan supremasi hukum. Kemudian tahun 1960 an, liberal sebagai modernisator di Indonesia berawal dari formulasi liberalisme yang dilakukan Amerika secara top-down yang berdasarkan dua konsep yaitu Cold War Liberalism dan Modernisation Theory, agar demokrasi gaya Amerika itu sebisa mungkin tersebar di berbagai negara.

Tetapi pandangan mengenai liberalisme itu berubah secara drastis di masa Order Baru tahun 1970, dari yang awalnya dianggap membuat sistem menjadi ideologi impor yang merusak dan memecah-belah. Terjadi oposisi antara dua aktor yaitu pemerintah Soeharto mencakup militer dan Golkar dengan kaum liberalis mencakup penerbitan seperti Sinar Harapan, Tempo, dan Gramedia; universitas; dan LSM yang menjunjung HAM seperti LBH. Selain itu muncul juga sekelompok intelektual Muslim neomodernis (menginterpretasikan Islam sebagai penganut toleransi, demokrasi dan pluralisme) yang mendapat kebebasan cukup besar karena menghindari keterlibatan politik seperti Achmad Wahib, Dawam Raharjo, Mukti Ali dan Nurcholis Madjid.

Tahun 1990 an sebelum reformasi, Soeharto mulai memberikan kebebasan terhadap pers dan partai politik tetapi belum cukup menampung semua tuntutan yang ada. Hingga akhirnya terjadilah Reformasi tahun 1998 dimana Soeharto mundur diganti Habibie yang disebut sebagai Sprint Time for Liberals. Banyak ide liberal dari reformasi yang didukung oleh Habibie dan Gusdur membuat politk liberalisme menjadi lebih kuat dan dalam waktu 4 tahun parlemen berhasil mengesahkan banyak undang-undang yang menopang ide liberalisme.

Kemudian di masa Megawati, berdiri Jaringan Islam Liberal tahun 2001 dengan gagasan pluralisme, negara sekuler, ekonomi pasar dan tafsir Al-Quran yang liberal. Kemunculannya –sebagai lanjutan dari kelompok neomodernis tahun 1970 an– menandakan bahwa ada liberal dalam dunia Islam di Indonesia. Dan di tahun 2002 Freedom Institute didirikan oleh Rizal Mallarangeng untuk promosi demokrasi liberal dan kebijakan pasar bebas, dengan misi membangun komunitas epistemik liberal baru, serta mencari kesesuaian liberalisme dengan konsep-konsep nasionalis (Pancasila) seperti gotong royong, kebhinekaan, kemanusiaan, demokrasi dan toleransi.

Di masa SBY (tahun 2004), dengan menguatnya kelompok islamis akibat koalisi pendukungnya banyak bertumpu pada parta Islam, mengakibatkan perjuangan liberal lebih banyak bersinggungan dengan masyarakat konservatif daripada pemerintah seperti kasus Ahmadiyah, UU Pornografi dan UU Larangan Penistaan Agama. Setelah nya Jokowi yang mampu mencapai tampuk kekuasaan presiden di tahun 2014 tidak lepas dari dukungan liberal perkotaan. Di tahun 2016 berdiri Partai Solidaritas Indonesia yang juga masih terbatas di lingkar perkotaan, meski secara literal menghindari sebagai liberal namun platformnya membela minoritas, sekularisme, hak individu dan pularisme. Kemudian muncul Keppres yang mengubah UU Ormas sehingga pemerintah berkekuatan melarang organisasi apapun yang dianggap mengancam persatuan nasional atau Pancasila, salah satunya pembubaran HTI.

Berdasarkan perjalanan liberalisme diatas, penulis menyimpulkan bahwa liberalisme selalu hadir disela-sela ideologi kolektivis yang mendominasi sebagian besar periode sejarah Indonesia dengan empat pola liberalisme pasca kemerdekaan, yaitu 1) liberalisme hampir selalu menjadi counter-narrative; 2) penganut ide-ide liberal semakin luas; 3) tumbuh vernakularisasi liberalisme; dan 4) liberalisme di Indonesia bersifat kontingen.

Isna menutup pemaparannya dengan beberapa catatan bahwa peran jaringan liberalis dan perluasan idenya di generasi muda pasca reformasi tidak terlalu disinggung dan digali pada tingkat universitas serta jalur-jalur beasiswa luar negeri, terkhusus pada ilmu sosial. Dan juga menarik untuk menindaklanjuti kajian ini dalam jangkauan kanal media sosial untuk melampaui batasan geografis perkotaan besar di Indonesia.

Tidak kalah menarik beberapa tanggapan yang diberikan salah seorang peserta diskusi pada sesi terakhir, Ismail Al Alam pertama memberikan konteks bahwa semua ideologi global termasuk liberalisme masuk ke Indonesia pertama-tama dengan semangat anti kolonialisme, bukan dalam kepentingan bagaimana gagasan itu muncul, sehingga semua ideologi itu (marxis, islamis, liberalis, republikanis) punya corak nasionalisme juga. Liberalisme maupun neoliberalisme butuh badan atau lembaga yang namanya negara tetapi mereka hanya menjadikannya sebagai pelaksana hukum, sedangkan yang berkuasa adalah pasar.

Mental-mental semangat anti kolonial itu tidak dimiliki oleh generasi selanjutnya di tahun 1960 an sampai sekarang, melainkan untuk menerapkan gagasan-gagasan yang menurut mereka hebat, sehingga mereka begitu mudahnya menjual bangsa untuk kepentingan asing (amerika dan soviet). Disini tidak ada lagi nasionalisme yang tangguh sebagaimana di masa-masa awal kemerdekaan. 

Kedua, meskipun ideologi politik masa dulu seperti Partai Solidaritas Indonesia memiliki kuantitas kekuatan politik yang lemah karena tidak memiliki kemampuan organisasi diri secara solid, tetapi gagasan nya tetap hidup melalui jaringan intelektualnya di kampus dan komunitas. Melalui ini kita tau genealogi suatu gagasan tidak muncul tiba-tiba, dan dia bukan suatu gampangan untuk kita tanggapi, inilah yang harus diperhatikan aktivis dan akademisi Islam, betapa kekuatan intelektual itu sangat penting. 

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.