| |

Majelis Bentala Syuhada #80

Bertepatan pada hari pertama tahun 2023, Majelis Bentala Syuhada(MBS) kembali diselenggarakan dengan edisi tinjauan jurnal kritis yang berjudul “Decolonizing Religion and the Practice of Peace : Two Case Studies from the Postcolonial World” yang ditulis oleh Atalia Omer. Ismail Al-Alam sebagai Narasumber pada MBS kali ini mengangkatnya menjadi tema “Interaksi Tak Tuntas Dekolonisasi Agama dan Upaya Binadamai di Akar Rumput”

Sebagaimana penuturan Alam bahwa Anatalia Omer adalah seorang yang produktif pada isu-isu perdamaian. Pada jurnal kali ini Anatalia Omer berfokus pada peace building berdasarkan kerja lapangan  yang luas dengan fokus pada praktik binadamai antaragama di Kenya dan Filipina, dekolonial dalam jurnal ini tetap terikat pada tugas penghancuran epistemologis, tetapi apakah pemikiran dekolonial studi agama dan teologi harus menyibukkan diri dengan ketepatan teoritis itu?

Alam menuturkan bahwa peace building yang dilakukan tersebut memang meningkatkan kehidupan orang-orang yang terlibat dalam praktik semacam itu, tetapi karena praktik tersebut mengandalkan religuisitas tipis, yaitu agama hanya dipandang sebagaimana kerangka neoliberal saja, yang malah tidak konsisten terhadap teologi dan religiusitas dekonial. Anatalia Omar dalam jurnal ini berupaya untuk menunjukkan bagaimana keberadaan dan upaya mengatasi kebencian di lapangan masih berada dalam spektrum politik dekolonial tersebut.

Dalam jurnal ini, Anatalia Omer melakukan riset di Kenya dan filipina yang pernah mengalami penjajahan oleh Eropa Kristen. Setelah mengalami pasca kolonial, representasi agama tetaplah sebagai sesuatu yang imperial dan hegemonik ditambah misionaris kristen di dua negara ini juga meninggalkan jejak bias kolonial dalam representasi agama, sehingga bentuk-bentuk konflik struktural yang terjadi selalu diidentifikasikan sebagai kekerasan belatar belakang Agama dan/atau etnis.

Gerakan-gerakan keagamaan yang ekstrim pun membuat suasana menjadi lebih riuh, dengan melakukan kekerasan langsung berupa separatisme dan terorisme, yang membuat pemerintah memiliki dalil mengambil pendekatan keamanan dan juga mendapat justifikasi untuk melanggengkan bias kolonial. Alam menekankan bahwa kita sebagai muslim sudah seharusnya untuk tidak sepakat dengan gerakan ekstrim tersebut, dan menghindarkan diri dari ikut senang dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh kaum ekstrimis.

Kehadiran NGOs lokal dan global pun ikut melanggengkan bias kolonial tersebut, dikarenakan perspektif perdamaian liberal yang digunakannya. Di sisi lain, semangat teoritikus dekolonial dianggap kerap tidak “membumi” dikarenakan mengabaikan kompleksitas empiris di lapangan dalam rangka binadamai. Alam menuturkan bahwa semangat dekolonial perlu lebih membuka diri terhadap kemungkinan dan pemikiran yang beragam, bukan hanya berdasarkan kerangka teoritis mereka saja.

Anatalia Omar dalam riset ini menggabungkan orientasi teoritis dan praktis, dengan mengevaluasi sejauh mana isu-isu dekolonial relevan dengan masuarakat. Di Mindanao (Filipina), Omar mengunjungi 250 orang dalam 20 FGD. Di Kenya, Omar mengunjungi 150 orang dalam 6 FGD. Narasumber penelitian ini adalah pemuka agama, akademisi, dan praktisi perdamaian, dalam isu-isu dialog intra dan antaragama, pemuda, perempuan, dan pencegahan ekstremisme kekerasan. Sehingga temuan ini menjadi bahan analisis yang timbal-balik antara teori dan temuan empiris.

Wacana perdamaian secara filosofis berangkat dari gagasan Immanuel Kant tentang perpetual peace. Alam menuturkan bahwa jelas sekali Immanuel kant masih membawa bias-biasnya. Penekanannya adalah penerapan modernitas sekuler, di mana identitas lama seperti agama dan budaya dianggap pinggiran dan perlahan-lahan harus pudar. Di masa kini, agama dan budaya dipandang sebagai akar kekerasan dan konflik di tengah masyarakat. Temuan riset-riset antropologis menunjukkan bahwa agama dan budaya bisa menjadi modal yang baik bagi perwujudan perdamaian, sehingga muncul tren “balikan budaya”. Alam menuturkan bahwa balikan budaya yang dimaksud disini adalah kritik terhadap perdamaian liberal, tetapi sayangnya kemudian neoliberal menjustifikasi bagi konsep “modal/kohesi sosial” tersebut dalam rangka menambal problem internalnya akibat individualism.

  Setelah “menikung” konsep “modal/kohesi sosial tersebut, kepentingan neoliberal memenfaatkan dua kondisi yang kemudian disebut penulis menghasilakn myopia ganda, yakni industri agama dan “imperium agama”. Dalam “industri agama”, para pemuka dan aktivis agama terhubung dengan kelompok neoliberal global dan ditempatkan sebagai pemangku kepentingan di tengah program SDGs. Dalam “imperium agama”, agama selalu dipandang sebagai kekuatan politis yang merusak, alih-alih kekuatan transformasi sosial. Meski demikian, perlawanan dekolonial yang menghendaki totalitas kritik terhadap religion yang eurosentris dengan menawarkan “heterodoksi” tetapi memiliki keistimewaan di kalangan akademisi yang tak terlalu dipahami atau dibutuhkan. Di akhir sesi, Alam menuturkan bahwa ternyata kalau kita membicarakan tentang perdamaian, maka itu adalah hal yang sangat kompleks, tidak cukup hanya dengan common sense, tetapi dibutuhkan jaringan politik struktural dan lainnya yang menuntut kita menempatkan posisi dimana umat Islam? Jangan sampai kita masih terseret pada isu neoliberal. Kita harus tegas menyikapi isu ini semua, jangan mengabaikan bahkan mendukung, tetapi dimana posisi kita dalam berfikir dan bertindak, itu yang harus kita fikirkan.

Similar Posts