| |

Deklarasi Bairut Agenda (Aneh) PBB Tentang Hak Asasi Manusia Fajri M. Muhammidin, Ph. D.

Diedit Oleh: Sayed Husein Nasr

Pada hari Ahad (14/6), Majlis Bantala Syuhada (MBS), mengadangan ruang diskusi bertemakan Deklarasi Beirut: Agenda (Aneh) PBB Tentang Hak Asasi Manusia,  yang diselenggarakan secara daring via Zoom Meet, Menghadirkan dosen Hukum Internasional FH Universitas Gadjah Mada, Fajri M. Muhammidin, Ph.D., yang baru saja menyelesaikan program doktoral di International University Islamic of Malaysia (IIUM).

Persatuan Bangsa-Bangsa atau lebih dikenal dengan PBB, berperan penting dalam pergolakan Internasional seperti halnya menjaga kestabilan dunia bahkan, merancang serta mengesahkan kesepakatan universal berkaitan dengan politik dan HAM.

OHCHR (Office of the High Commissioner of Human Right), salah satu bagian dari PBB yang aktif bergerak pada lini Hak Asasi Manusia. Dosen Hukum Internasional FH Universitas Gadjah Mada, Fajri M. Muhammidin, Ph.D., mengatakan terkait OHCHR, “sepulang dari acara pada akhir 2018 lalu, ketika menghadiri konferensi mewakili Indonesia, yang diadakan di Jenewa, Swiss. Dia bertemu Dr. Ibrahim Salamah mewakili OHCHR, yang  menawarkan untuk ikut andil dalam mendukung gagasan bahwa agama tidak boleh menghalangi  terhadap apa saja yang disepakati untuk kepentingan HAM”. “Barang tentu saya menolak terlebih ada beberapa slogan yang mengutip perkataan  Ulama Islam, namun penafsiranya luar biasa liberal”, tambah Fajri M. Muhammidin.

Hak Asasi Manusia dan Islam tampak sekilas, memiliki banyak kesamaan. Islam menjadi salah satu atau bahkan satu-satunya agama yang meniadakan rasisme dan menjunjung tinggi kesetaraan sesama manusia, yang barang tentu selaras dengan apa yang dikampanyekan oleh HAM. Namun secara fundamental bagaimana pemahaman antara keduanya dalam memandang manusia, akan tampak bahwa antara Islam dengan HAM terdapat jurang pemisah yang sangat lebar.

Islam memandang manusia sebagai, makhluk ciptaan Tuhan, dan apa saja yang ada pada diri manusia hanyalah titipan-Nya, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi manusia untuk menjaga serta memelihara. Berbeda dengan bagaimana Islam memandang manusia, HAM dalam pemahamannya, meyakini bahwa manusia terlahir dengan hak-haknya, secara alami, tanpa ada campur tangan dari siapapun. Sehingga bebas untuk melakukan segala bentuk perbuatan. 

Tidaklah mengagetkan mengapa HAM ketika berbicara terkait manusia terlihat sangat bertentangan dengan Islam, karena HAM sendiri adalah produk buatan dari sekuler, yang mencintai kebebasan tanpa adanya batasan. Maka dari itu sebagai seorang Muslim perlunya nalar kritis dalam menyikapi HAM.

Terkait PBB dan OHCHR, Fajri M. Muhammidi berujar “Program inti OHCHR, yang merupakan peranakan dari PBB, menjadikan agama mendukung sepenuhnya terhadap apa yang disepakati HAM, yang kemudian turunan dari program tersebut, lahirlah Beirut Declaration yang didalamnya termuat 18 komitmen.Terlebih sikap arogan PBB seperti saat memaksa pengesahan Universal Human Right”. “Tulisanya Universal, nyatanya banyak yang tidak setuju dengan keputusan PBB, namun akhirnya tidak dihiraukan” tegas Fajri.

Deklarasi Beirut, dihadiri perwakilan agama yang ada di seluruh dunia, membahas negosiasi yang ketika disepakati bertujuan menelanjangi identitas dan nilai agama. Komentar Fajri “Bahkan dari Islam pun, ada yang mewakili dan hadiri dalam acara tersebut, lebih parahnya lagi, sempet ada screenshot yang didapat ketika Deklarasi Beirut, didalamnya ada terjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Inggris, Surat al-Ashr digabungkan menjadi satu ayat, kemudian lafadz pada ayat ke tiga yang berkaitan dengan keimanan dihapus”.

Tidak berhenti pada Beirut Declaration, PBB memaksa pengesahan Universal Human Right, yang didalamnya terdapat muatan pokok yaitu Faith4Right, yang mencakup kebebasan untuk, murtad, LGBT, non-Diskriminasi, dan penghapusan hukum pidana bagi penista agama. Negara yang menolak keputusan PBB terkait Universal Human Right, diantaranya: Arab Saudi, Malaysia, Brunei.

Empat muatan pokok tersebut menjadi kontroversi di kalangan Umat Islam, disebabkan sangat bertentangan dan berlawanan dengan nilai ajaran Islam. Tidak akan ada negosiasi terkait murtad dengan. Memang benar, Islam membolehkan seseorang untuk menjadi mualaf, namun ketika seseorang dilarang keluar dari Islam. Terkesan tidak adil, dan arogan, namun sejatinya itulah bentuk kasih sayang sehingga, menjadi larangan membiarkan seseorang menuju jalan yang sesat.

 LGBT secara jelas Islam memberikan penolakan bahkan di dalam Islam perilaku menyimpang tersebut sudah dilarang sejak masa Nabi Luth A.S., kemudian non-Diskriminasi, sekilas tampak dapat dinegosiasikan bahkan dapat terintegrasi dengan ajaran Islam. Sebuah muatan standar ganda, dengan banyaknya kejadian yang menunjukan diskriminasi terhadap Islam, seperti: kejadian larangan mengenakan niqab di Perancis, dimana Perancis setuju dan berkomitmen, menerapkan HAM terkait kebebasan warga sipil, bahkan di Indonesia muncul larangan mengenakan niqab di salah satu Universitas Islam ternama. Namun kampanye masif larangan diskriminasi kaum LGBT mengatasnamakan HAM, terus menerus disuarakan bahkan mendapat dukungan penuh oleh PBB.

Muatan terakhir dari Faith4Right yaitu penghapusan hukum pidana bagi penista agama, akan menjadi masalah di kemudian hari, agama yang selama ini menjadi sakral akan kehilangan eksistensinya. Barang tentu muatan terakhir tersebut dapat diterima di negara yang menggunakan paham liberal, namun untuk negara seperti Indonesia yang berpondasi pada Pancasila dimana pada sila pertama yang berbunyi, Ketuhanan Yang Maha Esa, agama akan terus menjadi suatu hal yang sakral dan mulia.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.