| |

Edisi Khusus  Warisan Leluhur Ulama-Ulama Bangsa Harmoni Syariat dan Ma’rifat : Syaikh Yusuh al-Makassari Oleh: Nur Ahmad M.A.

Diedit Oleh: Sayed Husein Nasr

Ahad, (19/7/22), Majlis Bantala Syuhada (MBS), mengadakan sebuah diskusi khusus, membahas mengenai ulama-ulama Indonesia. Pembahasan hari ini, merupakan edisi ke-2 yang secara khusus mengkaji seorang tokoh dari tanah Sulawesi yaitu: Syaikh Yusuf al-Makassari, biografi serta pemikiran, yang dibawakan oleh Nur Ahmad M.A., dosen UIN Walisongo, Semarang, yang sedang menjalankan studi Doktoral di Leiden University  

Tasawuf sebuah pemahaman yang lekat dan erat dikaitkan dengan Sufi, dimana tasawuf sendiri adalah sebuah ajaran yang berfokus memurnikan jiwa, menjernihkan akhlak sehingga dapat menemukan keindahan iman. Nur Ahmad berpendapat “tasawuf adalah sebuah jiwa atau hati dari keimanan, sehingga tanpa tasawuf tidak akan ditemukan sebuah kenikmatan iman”.

Islamisasi di Indonesia pada periode awal, tidak terlepas dari peran para dai-dai Sufi, mereka menjadikan budaya dan seni sebagai  pendorong laju dakwah. Tentu di dalam penggunaan budaya serta seni dalam dakwah terdapat seleksi yang ketat, sehingga tidak berbenturan dengan Aqidah. Sehingga secara masif masyarakat Indonesia yang mayoritas berlatar belakang Hindu, dan Budha yang dalam peribadhanya terdapat banyak unsur seni dan budaya tertarik, sehingga mudah dalam menerima dakwah. Walaupun metode dakwah melalui budaya dan seni mendapat banyak kritikan, terutama dari para Orientalis yang menganggap bahwa Islam hanya mencampur adukkan agama serta meniru dari agama-agama sebelumnya. Sehingga mereka menganggap bahwa Islam tidaklah sempurna dan tidak valid berasal dari tuhan. Menurut Nur Ahmad “ Islam tidaklah mencampur adukkan agama, namun hanya mengambil pendekatan yang kiranya dapat diterima masyarakat, dan dalam mengambil pendekatan tersebut tidaklah sembarangan, tentu sesuai batas dan ketentuan yaitu Aqidah”.

Nur Ahmad menjelaskan “Salah satu tokoh tasawuf yang berperan penting dalam dakwah Islam di Indonesia adalah Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Makasari, dimana beliau tidak hanya berdakwah namun ikut serta dalam berjihad melawan Kolonial Belanda, bahkan hingga tewas dalam pengasingannya”. Syekh Yusuf Tajul Khalwati al-Makassar atau populer dengan sebutan Syekh Yusuf al-Makassari, melakukan rihlah (perjalanan) menimba ilmu, hingga bumi arab, tidak hanya menimba ilmu, Syekh Yusuf al-Makassari bahkan berbaiat dengan beberapa Tarekat, seperti: Naqsyabandiyah di Yaman, Syattariyah di Madinah dan Khalwatiah di Damaskus, sehingga kerap dalam penyebutan namanya dinisbatkan kepada salah satu tarekat yakni Khalwatiah. Dengan demikian menjadi sebuah pembuktian betapa sungguh-sungguhnya Syekh Yusuf al-Makassari dalam menimba Ilmu dan bertasawuf. Kemudian sepulang dari rihlah ilmiah, Syekh Yusuf menikah dengan putri Sultan Agung Tirtayasa, dan kemudian menjadi Qadhi di Banten. Tahun 1682 M, ketika terjadi pengkhianatan putra sultan, Sultan Abu Nashar Abdul Qahar, yang berafiliasi dengan Belanda, sehingga menjadikan Syekh Yusuf terjun ke dalam medan peperangan pada umurnya saat itu sekitar 50 tahun. Setelah kurang lebih 2 tahun Syekh Yusuf berjihad, memimpin sekitar 5000 pasukan, pada September 1683 Syekh Yusuf tertangkap di sungai Kitanduwi, Banjar. Kemudian menjalani pengasingan di Semenanjung Harapan, Afrika Selatan, hingga pada Jumat 22 Dzulkaidah 1110/ 22 Mei 1699, Syekh Yusuf wafat.

Menurut Nur Ahmad “Syekh Yusuf al-Makassari juga memiliki pemikiran yang sangat fenomenal terkait tasawuf yakni Falsafah Wujudi”. Pemikiran Syekh Yusuf al-Makassari terkait falsafah wujudi, mengacu pada wahyu Allah dalam al-Qur’an yang berbunyi: 

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Hadid [57] : 4)

Dalam ayat tersebut, Syekh Yusuf al-Makassari menjabarkan menjadi tiga bagian, dimana pada bagian pertama:  

هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا

Syekh Yusuf memaknai sebagai Penciptaan dan Keilmuan’. Kemudian pembagian kedua dalam ayat tersebut

وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا 

Syekh Yusuf dalam memaknai pembagian kedua, sebagai Mahiyah, Nur Ahmad mengutip al-Razi “Wujud yang hakiki hanya milik Allah semata dan wujud lain hanyalah mahiyah yang Allah ciptakan” kemudian Nur Ahmad menambahkan “Mahiyah adalah sesuatu yang muncul dalam pikiran atau imajinasi dan untuk perwujudanya butuh aksi, untuk Allah dalam mewujudkan tidaklah mustahil namun untuk kita makhluk terdapat batasan-batasan”. Pembagian ketiga:

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Syekh Yusuf memaknai bagian ketiga dari surat al-Hadid ayat 57 sebagai Ma’rifah Haqiqah, dimana Mahiyah manusia kepada Allah. Nur Ahmad menjelaskan “Mahiyah manusia kepada Allah adalah bagaimana manusia mengimajinasikan atau menggambarkan tuhan, mahiyah yang dimaksud bukanlah mencoba mendeskripsikan bentuk serta wujud Allah, namun mencoba menghadirkan sehingga dapat mencapai puncak kenikmatan dalam beribadah.

Similar Posts