Agama: Din, Millah, atau Religion?
Oleh: Ismail Al-‘Alam (Mahasiswa Magister Filsafat Keilahian, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Duta Wacana; Manager Program Yayasan Bentala Tamaddun Nusantara)
Dalam Risalah untuk Kaum Muslimin, Al-Mukarrom Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan bahwa agama yang benar bukanlah keagamaan, melainkan sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan dan selaras dengan fitrah manusia. Apa maksudnya? Pikiran kita sudah sejak lama didesak oleh pelbagai konsep tentang agama dan, sebagai muslim, kita kebingungan memahaminya. Islam mengenalkan kita istilah din dan millah untuk sesuatu yang kita maksud sebagai agama. Di saat bersamaan, istilah religion melalui tradisi Kristen dan ilmu sosial-humaniora Barat turut menawarkan pemaknaannya sendiri terhadap istilah agama.
Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut ad-din yang diridhai-Nya adalah al-Islam. Kedua istilah ini menggunakan isim ma’rifah yang paralel dengan artikel the dalam bahasa Inggris, untuk menandai sesuatu yang tertentu, khusus, dan jelas. Menurut Syed Naquib, keduanya adalah istilah baru yang hanya muncul dalam Wahyu Terakhir, tetapi maknanya langsung terpahami utuh baik oleh Nabi Muhammad Saw. maupun Para Sahabatnya, yang membentuk kesadaran-diri mereka tentang suatu agama lengkap, universal, dan final. Inilah hakikat dan kebenaran agama menurut pandangan Islam.
Makna Agama dalam Pengalaman Barat
Istilah religion perlu menempuh perjalanan sejarah yang panjang terlebih dahulu untuk sampai pada kualitas kata benda, atau yang disebut Wilfred Cantwell Smith sebagai reifikasi. Imbas langsungnya adalah bentuk khusus dari religion, terutama di lingkungan para pengguna istilah ini seperti di dalam Kristianitas, juga dipahami dalam nalar reifikasi ini. Penjelasannya secara singkat begini: religion berasal dari dua kata kerja, religare (ikatan) dan religere (ritual terus-menerus), yang maknanya sangat umum dan longgar. Setiap komunitas yang menjalankan dua praktik itu serta-merta
menyandang kata sifat religius.
Ketika para pembentuk doktrin awal Kristen mulai menyadari reifikasi dari ikatan dan ritualnya, yang membedakan mereka dari Yahudi dan mengantarkan mereka pada bentuk institusionalisasi Gereja dengan pelbagai doktrinnya, generasi yang muncul kemudian mulai melihat diri mereka secara khusus sebagai Kristen dan secara umum sebagai religion. Dengan premis bahwa menjadi bagian dari kategori religion adalah mengikuti bentuk-bentuk reifikasi seperti itu, dan menjadikan struktur Gereja dalam Kristen sebagai bentuk ‘sempurna,’ mereka memproyeksikan kedua premis dari pengalamannya sendiri itu ke komunitas lain.
Sejak saat itu, tradisi pengkajian agama para sarjana Kristen-Barat terhadap komunitas di luar mereka berlangsung di bawah dua premis ini, yang membuat mereka memasukkan komunitas yang “sudah menempuh reifikasi” dan memiliki “institusi resmi dengan pelbagai doktrin baku” ke dalam kategori agama, sedangkan yang masih dalam bentuk primitif karena belum atau belum tuntas menempuh proses semacam itu sebagai “animisme.” Selama sekian lama, kajian agama tak bisa lepas dari bias Barat ini, bahkan setelah mereka mengalami sekularisasi.
Sekularisasi Barat mengantarkan dunia akademik pada, salah satunya, pandangan bahwa agama-agama harus dipandang dengan dua pengalaman Kristen, yakni (1) mengikuti arus sekularisasi lewat interpretasi-ulang doktrin-doktrin pokoknya atau (2) ditinggalkan, dan menggantinya dengan filsafat dan sains, karena seluruh agama –bukan hanya Kristen- menurut posisi ini hanyalah produk kebudayaan dari manusia yang berevolusi, tanpa peran Tuhan sama sekali. Kelompok (2) ini akan menempatkan agama sebagai fenomena objektif dari komunitas tertentu; sebagian dari mereka memandang agama sebagai sumber pemaknaan-hidup (seperti Weber) atau secara fungsional (seperti Durkheim) sehingga kehadirannya dapat diterima sejauh menopang modernitas, dan sebagiannya yang lain menganggapnya sebagai produk budaya masa silam yang terbelakang dan hanya menghasilkan kebodohan, fundamentalisme, dan ekspresi buruk lain.
Advokasi yang tersedia terhadap eksistensi agama justru muncul dari paradigma agama ulayat (indigenous religions) yang, meski tak berkepentingan untuk memastikan suatu agama berasal dari wahyu atau tidak, cukup kritis terhadap bias Barat-Kristen dalam mendefinisikan agama. Bagi mereka, agama tak mesti dipahami dalam bentuk reifikasi dan institusionalnya seperti Kristen. Relasi komunitas agama terhadap alam, disertai penghayatan terhadap Yang Suci apapun bentuknya, juga sah disebut agama.
Jika para ‘advokat’ agama ulayat kita sebut kelompok (3), maka selain mereka terdapat kelompok (4) yang muncul dari induk paradigma kelompok (3), yakni Pascamodernis. Bagi kelompok (4), ‘agama’ dan ‘Tuhan’ berada dalam posisi kontingensi radikal: ada-sekaligus-tiada. Derrida dan para pengikutnya berada di posisi ini, ketika mereka memandang agama dan Tuhan sebagai sesuatu yang bisa ‘dialami’ dan ‘disaksikan,’ tetapi sekaligus harus ditunda pemaknaan dan penetapannya agar tak menjadi absolut dan institusional, karena hal itu tak mungkin dan pasti merupakan bentukan manusia. Yang tersisa adalah pengalaman spiritual pribadi yang berbeda-beda dan mesti dirayakan.
Ad-Din dan Millah menurut Islam
Perjalanan panjang –yang diulas serba singkat ini- tentang makna agama (dan, konsekuensinya, Tuhan) dalam pengalaman Barat di atas menyiratkan sesuatu yang hilang: penjelasan yang benar dan terpercaya dari Tuhan sendiri tentang Diri-Nya dan ciptaan-Nya, yang dibawa oleh utusan yang juga benar dan terpercaya. Di sinilah makna ad-din menjadi relevan bagi mereka yang menerima petunjuk (hidayah), meski akan ditolak oleh mereka yang menutup diri (kafir) karena menganggap ‘agama Islam’ sama belaka dengan seluruh pengalaman dan interpretasi Barat tentang religion. Itulah mengapa banyak orientalis, diikuti pembeo mereka dari kalangan muslim, memandang Islam dengan nalar reifikasi.
Istilah lain dalam Al-Qur’an, millah, semakin dapat terpahami lewat konsep religion. Menurut Syed Naquib, istilah ini ambigu sebab merujuk pada dua hal, yakni (1) agama wahyu yang dibawa Para Nabi terdahulu, tetapi juga (2) bentuk tahrif (distorsi) yang dihasilkan umat mereka kemudian, akibat kezaliman mereka. Butir (1) merujuk pada wahyu yang disampaikan para Nabi dan Rasul, yakni (a) Tauhid yang benar, bahwa tiada Tuhan selain Allah; (b) Nubuwwah yang benar, yakni perjanjian untuk mengikuti Nabi Terakhir, Sempurna, dan Universal jika waktunya tiba; dan (c) syariat yang benar, yang meski setiap umat menempuh bentuk yang berbeda, tetapi semuanya adalah jalan yang lurus.
Butir (1a), (1b), dan (1c) di atas adalah millah yang harus ditempuh oleh umat para Nabi terdahulu, untuk memenuhi Perjanjian Pertama mereka sebagai hamba Allah di alam alastu (sebagaimana tertulis dalam Surah Al-A’raf: 172), sambil menanti Perjanjian Kedua dalam bentuk mengimani Nabi Muhammad Saw. Itulah agama (ad-din) yang diridhai Allah, yakni al-Islam. Dalam karya terbarunya,Syed Naquib menyebut Islam sebagai Perjanjian yang Terpenuhi. Di saat bersamaan, millah dalam bentuk (2) juga berkembang, akibat kezaliman sebagian umat Nabi terdahulu dengan menambah, mengurangi, dan mengganti millah yang benar dengan kehendak mereka. Di saat itulah millah menjadi produk kebudayaan.
Ketika menjadi produk kebudayaan, millah tertentu sudah melanggar Perjanjian Pertama, meski jejak-jejak kebenaran wahyu masih terdapat di dalamnya. Itulah mengapa Al-Qur’an dengan tegas menyebut Nabi Ibrahim bukan Yahudi dan Nasrani; Nabi Musa bukan pembawa Yahudi; dan Nabi Isa bukan pembawa Nasrani. Mereka semua disebut muslim, tetapi bukan dalam bentuk definitif al-Islam karena istilah ad-din dan al-Islam belum ada di zaman dan perbendaharaan kata mereka (apalagi jika terdapat Nabi di luar bahasa semit, misalnya di Eropa atau Jawa). Mereka disebut muslim karena berserah diri dengan benar, sesuai dengan (1a), (1b), dan (1c) di atas.
Dalam konteks inilah pembacaan reifikasi Barat tentang religion bahkan konsep Tuhan menjadi relevan untuk memahami millah dalam pengertian (2). Para pembangkang yang melakukan tahrif (distorsi) terhadap millah yang benar akan menghasilkan kondisi sebaliknya berdasarkan batas-kebudayaan mereka, menghasilkan (a) konsep Tuhan yang salah; (2) konsep Nubuwwah yang salah (biasanya dalam bentuk mitos mesianisme, mileniarisme, Ratu Adil, dsb.); dan tentu saja (3) syari’at yang salah. Semua itulah yang menghasilkan religare, religere, dan pada akhirnya religion, termasuk dalam bentuk tafsir sekuler dan ateistis terhadap makna-makna ini.
Dengan demikian, sebagai seorang muslim, kita harus berani menegaskan tempat kita sebagai pengikut agama wahyu yang benar, Nabi yang benar, dan menempuh jalan yang benar, tanpa tergoyahkan oleh syubhat konsepsi tentang religion yang berkembang di Barat dan menjadi hijab (penutup) bagi kita dalam memahami hakikat agama yang benar. Di saat bersamaan, kita bisa memanfaatkan perkembangan diskursus tentang religion dalam filsafat agama maupun religious studies untuk memahami historisitas dan fenomenologi agama-agama di luar Islam, termasuk yang keluar dari Islam seperti Sikh, Baha’i, dan Ahmadiyah. Bagi seorang muslim, meski agama yang benar adalah Islam, mengkaji agama lain secara fenomenologis berguna untuk memahami kekhasan dan nuansa di dalam agama tersebut, serta menjadi pedoman berbasis bukti untuk memahami dan merencanakan strategi dakwah terhadap mereka.
Penjelasan ini bukan untuk mengantarkan kita untuk alergi pada istilah agama apalagi religion. Syed Naquib sendiri, yang penjelasannya saya rujuk tadi (dan segala kekeliruan adalah akibat kekurangan saya), tetap menggunakan istilah religion untuk merujuk pada Islam dalam karya-karya berbahasa Inggrisnya. Yang beliau tekankan adalah makna yang benar tentang agama/religion ketika kita bermaksud membicarakan Islam, yang harus sesuai dengan makna ad-din, dan bahwa makna filosofis dan reifikasi pada istilah religion hanya berlaku bagi agama selain Islam –yang mengantarkan mereka pada pencarian tanpa akhir tentang hakikat Tuhan, alam, dan manusia.
Pencarian tentang hakikat Tuhan, alam, dan manusia, serta hubungan yang benar di antara ketiganya, hanya bisa diakhiri jika manusia kembali pada agama yang benar dan sesuai fitrahnya, yakni Islam. Kondisi inilah yang membuat makna ad-din lebih lengkap dari konsepsi apapun tentang agama. Dalam penyelidikan Syed Naquib, akar kata istilah ini, d-y-n, dan kata-kata lain yang dibentuknya, secara alami terhubung dalam medan makna (semantik) yang tetap dan tepat. Ia merujuk pada (1) keadaan berutang; (2) ketundukan pada otoritas; (3) kuasa pengaturan dan penghakiman; dan (4) keadaan fitrah. Tanpa merujuk pada Islam, keempatnya akan menghasilkan millah yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Wallahu a’lam
Tambahan: Penjelasan yang serba singkat dari tulisan ini karena ia sekadar penyusunan ulang, disertai sedikit perbaikan, dari status WhatsApp yang saya tulis di siang hari, 9 September 2023, saat sedang menunggu suatu urusan