Gen Gay dan Tempat bagi Empirisme

https://theconversation.com/berhenti-menyebutnya-sebagai-pilihan-faktor-biologis-pendorong-homoseksualitas-212234

Sewaktu tulisan Dean Hamer (yang juga dikutip di artikel ini) tentang keberadaan gen gay pada manusia terbit tahun 2019, saya mendiskusikannya dengan istri dan menulis status cukup panjang di Facebook untuk meresponsnya. Tapi, respons saya itu tertuju bukan pada penulis jurnal, melainkan pada rekan-rekan saya sendiri.

Inti argumen saya adalah usaha-usaha kelompok muslim untuk menolak LGBT, yang kerap menggunakan –bahkan mengandalkan- data empiris sebagai justifikasinya, harus siap berhadapan dengan problem epistemologis yang lebih rumit. Mengutip data dan penelitian empiris berarti mengakui validitasnya sebagai sumber pengetahuan, tetapi hal itu membuka peluang bagi jebakan tersendiri jika berlangsung tanpa pendasaran yang jelas pada epistemologi Islam. Selain cenderung asal comot (cherry picking), mereka yang mengandalkan empirisisme akan kikuk saat berhadapan temuan-temuan empiris baru yang lebih ketat secara metodis dan membatalkan klaimnya. Dalam kasus LGBT, persoalan ini sudah muncul ketika sebagian orang terlalu mengandalkan sejarah gerakan protes politik menghapus LGBT dari DSM di Amerika yang berhasil.

Beberapa tulisan penolak LGBT yang saya baca biasanya berangkat dari asumsi bahwa penghapusan yang berhasil itu menjadi bukti psikologi tidak bebas nilai. Padahal dalam epistemologi Islam, psikologi modern yang mapan jauh sebelum peristiwa protes kaum LGBT itu pun tidak bebas nilai, melainkan sudah selalu di dalam interpretasi epistemologi Barat. Selain itu, meski rangkaian perubahan DSM didahului dengan protes politik, penghapusan itu adalah kondisi yang niscaya karena arus ilmu pengetahuan sekuler di Barat sedang beralih dari modernisme ke pascamodernisme –kecenderungan filsafat yang menolak kepastian sehingga pada gilirannya memang memungkinkan LGBT untuk diterima. Jadi, dengan atau tanpa protes politik, penghapusan LGBT dari DSM akan menemukan momentum lainnya, sebagai akibat dari pascamodernisme itu.

Perkembangan sains terbaru tentang gen gay ini, yang bukan hanya empiris tetapi juga lebih eksakta (biofisikal) sehingga penolakan terhadapnya sangat mustahil, harus menjadi pengingat bagi penolak LGBT untuk membangun argumentasi yang lebih kokoh. Jika kembali pada epistemologi Islam, argumen kokoh itu sudah tersedia: meski mengakui pengetahuan empiris sebagai sumber ilmu (termasuk tentang kondisi biologis manusia), Islam juga menjelaskan sumber-sumber ilmu lain yang lebih tinggi untuk menjelaskan hakikat manusia secara utuh dan menyeluruh. Dengan kata lain, informasi apapun tentang kondisi biofisikal manusia yang disediakan riset mutakhir adalah penjelasan parsial tentang manusia, yang bukan untuk ditolak (terutama jika tampak tak mendukung kepentingan sendiri) melainkan dikenali batas makna dan kegunaannya berdasarkan sumber ilmu yang lebih tinggi itu.

Ketika pemahaman tentang epistemologi Islam dimiliki, akar persoalannya menjadi jelas, yakni soal pengakuan terhadap sumber-sumber ilmu yang membentuk perbedaan mendasar ketika seorang muslim dan sekuler memahami manusia. Yang pertama memiliki kata kunci fitrah sementara yang kedua mengandalkan konsep lama dalam filsafat Barat yang interpretasinya terus berkembang, keadaan natural (state of nature). Ketika berbicara fitrah, seorang muslim akan merujuk wahyu dan penjelasan otoritatif mengenainya dari para ulama. Hasilnya adalah pemahaman tentang manusia yang terdiri dari ruh dan jasad (tanpa dualisme), mengemban amanah sebagai hamba Allah, memiliki akal yang memampukannya berpikir sekaligus memahami agama wahyu yang menjaga hidupnya tetap sesuai fitrah, dan seterusnya.

Berseberangan dengan itu, pemahaman tentang kondisi natural manusia dalam tradisi pemikiran Barat sejak lama dibicarakan dalam spekulasi para filsuf, tetapi kini dimenangkan oleh sains yang berkembang sangat pesat. Para filsuf memahami makna kondisi natural manusia dengan dugaan-dugaan rasionalnya dan berupaya menunjukkan bahwa pemahamannya koheren, yang biasanya disanggah filsuf lain dengan tidak kalah rasional dan koherennya. Sains melangkah lebih jauh dari itu karena mengganti dugaan menjadi pembuktian –lebih tepatnya, pembuktian empiris. Inilah yang membuat kondisi natural manusia dan alam, bahkan hakikat Tuhan, diinterpretasikan kalangan saintis berdasarkan pandangan-hidup mereka sebagai semata-mata fakta biofisikal; keberadaan alam adalah hasil evolusi kosmos, keberadaan manusia adalah hasil evolusi primata, keberadaan Tuhan dan agama adalah hasil evolusi kognitif manusia, dan seterusnya.

Dari dua posisi berbeda meski dapat berbagi informasi empiris bersama ini, umat Islam penolak LGBT harus mampu menjelaskan makna fitrah secara jelas dan benar. Keengganan memasuki kajian epistemologi Islam, yang menuntut waktu tak sebentar dan ketekunan yang terasa melelahkan, harus segera ditinggalkan persis karena tak ada jawaban yang bersifat segera juga untuk menghadapi masalah pengetahuan serumit ini. Jika tak punya cukup waktu mendaras seluruh bidang-bidang besar keilmuan Islam dan menemukan jawabannya, langkah awal yang harus ditempuh adalah mengenali dan mengakui otoritas yang benar dalam pembahasan epistemologi Islam, yang menghadirkan dan menyatakan-kembali penjelasan para ulama tentang ilmu, manusia, dan lainnya dalam rangka mengingatkan kita masalah sekularisme akut.

Tanpa kesadaran, ketekunan, pengenalan, dan pengakuan itu, kita akan terus kikuk bahkan semakin gugup di hadapan sains sekuler. Sementara itu, kalangan sekuler akan terus mengklaim temuan demi temuannya sebagai sesuatu yang berbasis bukti, natural, dan normal, termasuk soal LGBT. Tugas masyarakat, bagi mereka, adalah menerimanya sebagaimana tuntutan kampanye LGBT yang kian ramai dan mengeklaim diri saintifik beberapa dasawarsa terakhir.

Wallahu a’lam.

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.